Sejarah Maharaja Jepun

Walaupun Maharaja merupakan perlambang kesinambungan antara masa lalu, kewenangan Maharaja berbeda-beda dalam sepanjang sejarahnya. Pada abad ke-7 Masihi, maharaja mula dipanggil dengan sebutan "Putera Langit" (天子 tenshi atau 天子様 tenshi-sama).[5]

Asal muasal

Maharaja paling awal yang tercatat pada Kojiki dan Nihon Shoki adalah Maharaja Jimmu yang dikatakan merupakan keturunan dari Ninigi, cucu Dewi Amaterasu. Berdasarkan Nihon Shiki, maharaja memiliki silsilah dari jalur lellaki yang tidak putus hingga 2,600 tahun. Gelaran tennō diambil dari bahasa China hasil pengaruh tamadun tersebut ke dalam budaya Jepun.[6]

Pertembungan

Terdapat enam keluarga besar yang mengendalikan para maharaja, yakni: Soga (sekitar 530-645), Fujiwara (sekitar 850-1070), Taira (1159-sekitar 1180), Minamoto (dan Kamakura bakufu) (1192–1333), Ashikaga (1336–1565), dan Tokugawa (1603–1867). Walaupun begitu, tiap shogun dari keluarga Minamoto, Ashikafa, dan Tokugawa diakui secara resmi oleh maharaja yang masih merupakan sumber kewenangan.

Perselisihan

Tumbuhnya kelas samurai pada abad kesepuluh masehi secara bertahap mengurangi kekuatan kerabat diraja, menimbulkan masa kekacauan. Para maharaja juga diketahui berselisih dengan beberapa shogun penguasa dari masa ke masa.

Shogun

Rencana utama: Shogun

Dari tahun 1192 sampai 1867, shogun bertindak sebagai de facto penguasa Jepun, walaupun mereka dinobatkan oleh maharaja dalam upacara formalitas.[7] Shogun sendiri adalah jenderal kemiliteran yang kedudukannya diwariskan turun temurun. Wilayah kewenangan shogun disebut keshogunan yang dalam bahasa Jepangnya disebut bakufu (幕府) yang awalnya digunakan untuk merujuk rumah jenderal.[8]

Restorasi Meiji

Rencana utama: Restorasi Meiji

Pada tahun 1868, kekuasaan kembali ke tangan maharaja dan keshogunan dibubarkan. Salah satu penyebab restorasi ini adalah kenyataan bahwa Jepun sudah tertinggal jauh dengan negara-negara Barat, terlihat saat kedatangan Komodor Amerika Serikat, Matthew C. Perry, yang memaksa Jepun membuka perdagangan dengan dunia Barat. Pada masa ini pula, wanita dilarang secara resmi naik takhta sebagai maharani.

Perang Dunia Kedua

Rencana utama: Perang Dunia Kedua

Peranan maharaja sebagai negara Shinto digunakan pada masa Perang Dunia Kedua, menciptakan pengkultusan maharaja, yang mendorong tindakan kamikaze pada pasukan Jepun. Pasca kekalahan Jepun pada Perang Dunia II, pasukan sekutu menekan pemisahan agama dan negara di Jepun. Selanjutnya, dibentuk undang-undang baru yang menjabarkan peran baru maharaja dan pemerintahan.

Masa kini

Undang-undang baru menyatakan pemerintahan yang baru dengan sistem parlementer. maharaja Jepun dimaknai sebagai "lambang Negara dan pemersatu masyarakat" tanpa kewenangan politik yang nyata.